Sejarah Pancasila dan Peradaban Soekarno - Bagian2
Perhatian terbesar Soekarno antara tahun 1922-1930 adalah perjuangan ekonomi politik, pendefinisian ekonomi politik merupakan arsitektur dasar pembentukan masyarakat Indonesia, menciteer pemikiran Marx : “Ekonomi-lah yang melandasi seluruh alasan manusia bermasyarakat dan membentuk landasan diatasnya berupa ideologi, agama, kebudayaan dan segala macam persoalan pemikiran”. Soal Ekonomi ini yang Sukarno jabarkan dalam pidato pledoi politik di depan Hakim yang menuntut pembuangan politik kepada dirinya.
Dalam penjara baik di Banceuy ataupun Sukamiskin, Sukarno berpikir keras soal konsepsi paling awal pembebasan manusia. ‘Ternyata Pembebasan jalan kemanusiaan itu harus menempuh satu fase yang berkaitan erat dengan masyarakatnya. –Hanya saja masyarakat jenis apa yang harus dibangun untuk sebuah bangsa bernama Indonesia?’
Karena dituduh mempersiapkan pemberontakan besar dan merupakan penghasut dalam rapat-rapat politik yang sering diadakan oleh para penggerak Kemerdekaan, Sukarno divonis hukum buang ke Flores, koran-koranpun berteriak ketika Sukarno dibuang, “apa kesalahan Sukarno, ia berteriak ‘Kemerdekaan Bangsanya’ karena memang itulah takdir jalannya sejarah” kata MH Thamrin, seorang penggerak kemerdekaan dari Batavia yang paling legendaris. MH Thamrin adalah orang yang paling pasang badan dalam membela Sukarno.
Hukuman buang bagi pemuda Sukarno ke luar Jawa jelas merupakan siksaan yang menyakitkan, ia diisolosi agar pemikirannya mati, ia dikerubungi masyarakat yang gap intelektualitas-nya luar biasa berbeda, tapi beruntung bagi Sukarno ia masih bisa melakukan korespondensi dengan sahabatnya A. Hassan, salah seorang petinggi organisasi Islam, Persatuan Islam (Persis) dan Natsir, seorang intelektual muda Islam dalam korespondensi itu Sukarno menemukan Islam sebagai ‘agama yang hidup’ tidak mengenal ‘aristokrasi’. Sukarno juga mendapatkan kepuasan intelektual saat berjumpa dengan Pastor G.Huytink dan Pastor J.Bouman, para misionaris yang memiliki akses intelektual yang bagus dan berpendidikan sehingga mendapatkan lawan bicara yang imbang dalam tanah pembuangannya.
Di flores pula Sukarno membentuk tonil, atau sandiwara yang dia pentaskan setiap sebulan sekali. Sukarno melihat sebuah masyarakat sesungguhnya adalah ‘Proses untuk menjadi, sebagaimana sebuah Proses kebangsaan itu sendiri, ‘Masyarakat dan Negara adalah Panggung Teater, sehingga Masyarakat bisa menembus panggung dan membahasakan dirinya di depan dunia, sebagai bahasa dasar, nah bahasa dasar inilah yang kemudian dikenal sebagai ‘weltanschauung’ pandangan manusia pada dunia, sebuah world view, nilai-nilai world view inilah yang kemudian dipikirkan Sukarno lagi dalam pergulatan intelektual dan ruhaniahnya dalam merumuskan kategori sebuah bangsa.
Sukarno suka bertukang, ia senang menyerut kayu, ia suka sekali membuat bangku, berbagai jenis bangku ia buat, salah satu keahliannya adalah membuat kursi goyang paling enak, ada beberapa orang yang selalu membantu Sukarno dalam menyerut kayu, salah satunya adalah Riwu Ga. Kerja Sukarno tiap hari adalah membaca buku, antara jam 6 pagi sampai jam 8. Lalu ia berjalan ke sebuah pohon Sukun yang berdiri besar menghadap ke laut yang posisinya di sebelah timur rumah Sukarno. Di laut yang luas tanpa batas, udara mega membentuk gelombangnya, sapuan awan dan titik-titik kecil perahu nelayan, membuat Sukarno merasa tenang dalam berpikir. Kenangan ini ia ceritakan kepada Cindy Adams dalam sebuah buku otobiografi : Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. – “Di sana, dengan pemandangan ke laut lepas tiada yang menghalangi, dengan laut biru yang tak ada batasnya dan mega putih yang menggelembung dan di mana sesekali seekor kambing yang sedang bertualang lewat sendirian, di sana itulah aku duduk melamun jam demi jam.” Lamunan Sukarno terhentak di satu pagi ketika melihat serombongan orang bergotong royong membangun rumah untuk seorang nenek tua, ia melihat semangat kebersamaan, pikirannya terhentak : “Nah inilah watak dasar manusia Indonesia, yang kutemui di Blitar, di Surabaya, di Solo, di Semarang, di Bandung dan dibanyak tempat lainnya, watak kerjasama dengan nilai sosial tinggi, sebuah keguyuban yang dilatari kemanusiaan” Sukarno mendapatkan pencerahan awal soal kemanusiaan “Gotong Royong, sekali lagi Gotong Royong” kata Sukarno tahun 1952 suatu saat dalam pidato-nya mengenang saat ia menemukan galian Pancasila di Flores tahun 1933.
Peradaban Sukarno adalah sebuah Peradaban yang ditujukan untuk membentuk sebuah bangsa, peradaban yang pertama-tama dilakukan adalah peradaban revolusioner, peradaban perubahan cepat, disini yang dibutuhkan keberanian untuk merebut konsesi-konsesi lahan kepemilikan yang dikuasai pihak asing, Sukarno membangun militernya, membangun kekuatan politik non kompromi pada masa ia berkuasa dan menyebut kekuasaannya itu sebagai ‘Demokrasi Terpimpin’. Lalu peradaban kedua adalah Peradaban masyarakat ideal, disini peradaban masyarakat ideal adalah peradaban saling menghargai manusia dalam bentuk perbedaan, negara ditempatkan sebagai idealisme tertinggi, sehingga setiap perbedaan dan terkena menyangkut masalah publik harus diselesaikan dalam hukum-hukum positif.
Dalam penjara baik di Banceuy ataupun Sukamiskin, Sukarno berpikir keras soal konsepsi paling awal pembebasan manusia. ‘Ternyata Pembebasan jalan kemanusiaan itu harus menempuh satu fase yang berkaitan erat dengan masyarakatnya. –Hanya saja masyarakat jenis apa yang harus dibangun untuk sebuah bangsa bernama Indonesia?’
Karena dituduh mempersiapkan pemberontakan besar dan merupakan penghasut dalam rapat-rapat politik yang sering diadakan oleh para penggerak Kemerdekaan, Sukarno divonis hukum buang ke Flores, koran-koranpun berteriak ketika Sukarno dibuang, “apa kesalahan Sukarno, ia berteriak ‘Kemerdekaan Bangsanya’ karena memang itulah takdir jalannya sejarah” kata MH Thamrin, seorang penggerak kemerdekaan dari Batavia yang paling legendaris. MH Thamrin adalah orang yang paling pasang badan dalam membela Sukarno.
Hukuman buang bagi pemuda Sukarno ke luar Jawa jelas merupakan siksaan yang menyakitkan, ia diisolosi agar pemikirannya mati, ia dikerubungi masyarakat yang gap intelektualitas-nya luar biasa berbeda, tapi beruntung bagi Sukarno ia masih bisa melakukan korespondensi dengan sahabatnya A. Hassan, salah seorang petinggi organisasi Islam, Persatuan Islam (Persis) dan Natsir, seorang intelektual muda Islam dalam korespondensi itu Sukarno menemukan Islam sebagai ‘agama yang hidup’ tidak mengenal ‘aristokrasi’. Sukarno juga mendapatkan kepuasan intelektual saat berjumpa dengan Pastor G.Huytink dan Pastor J.Bouman, para misionaris yang memiliki akses intelektual yang bagus dan berpendidikan sehingga mendapatkan lawan bicara yang imbang dalam tanah pembuangannya.
Di flores pula Sukarno membentuk tonil, atau sandiwara yang dia pentaskan setiap sebulan sekali. Sukarno melihat sebuah masyarakat sesungguhnya adalah ‘Proses untuk menjadi, sebagaimana sebuah Proses kebangsaan itu sendiri, ‘Masyarakat dan Negara adalah Panggung Teater, sehingga Masyarakat bisa menembus panggung dan membahasakan dirinya di depan dunia, sebagai bahasa dasar, nah bahasa dasar inilah yang kemudian dikenal sebagai ‘weltanschauung’ pandangan manusia pada dunia, sebuah world view, nilai-nilai world view inilah yang kemudian dipikirkan Sukarno lagi dalam pergulatan intelektual dan ruhaniahnya dalam merumuskan kategori sebuah bangsa.
Sukarno suka bertukang, ia senang menyerut kayu, ia suka sekali membuat bangku, berbagai jenis bangku ia buat, salah satu keahliannya adalah membuat kursi goyang paling enak, ada beberapa orang yang selalu membantu Sukarno dalam menyerut kayu, salah satunya adalah Riwu Ga. Kerja Sukarno tiap hari adalah membaca buku, antara jam 6 pagi sampai jam 8. Lalu ia berjalan ke sebuah pohon Sukun yang berdiri besar menghadap ke laut yang posisinya di sebelah timur rumah Sukarno. Di laut yang luas tanpa batas, udara mega membentuk gelombangnya, sapuan awan dan titik-titik kecil perahu nelayan, membuat Sukarno merasa tenang dalam berpikir. Kenangan ini ia ceritakan kepada Cindy Adams dalam sebuah buku otobiografi : Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. – “Di sana, dengan pemandangan ke laut lepas tiada yang menghalangi, dengan laut biru yang tak ada batasnya dan mega putih yang menggelembung dan di mana sesekali seekor kambing yang sedang bertualang lewat sendirian, di sana itulah aku duduk melamun jam demi jam.” Lamunan Sukarno terhentak di satu pagi ketika melihat serombongan orang bergotong royong membangun rumah untuk seorang nenek tua, ia melihat semangat kebersamaan, pikirannya terhentak : “Nah inilah watak dasar manusia Indonesia, yang kutemui di Blitar, di Surabaya, di Solo, di Semarang, di Bandung dan dibanyak tempat lainnya, watak kerjasama dengan nilai sosial tinggi, sebuah keguyuban yang dilatari kemanusiaan” Sukarno mendapatkan pencerahan awal soal kemanusiaan “Gotong Royong, sekali lagi Gotong Royong” kata Sukarno tahun 1952 suatu saat dalam pidato-nya mengenang saat ia menemukan galian Pancasila di Flores tahun 1933.
Peradaban Sukarno adalah sebuah Peradaban yang ditujukan untuk membentuk sebuah bangsa, peradaban yang pertama-tama dilakukan adalah peradaban revolusioner, peradaban perubahan cepat, disini yang dibutuhkan keberanian untuk merebut konsesi-konsesi lahan kepemilikan yang dikuasai pihak asing, Sukarno membangun militernya, membangun kekuatan politik non kompromi pada masa ia berkuasa dan menyebut kekuasaannya itu sebagai ‘Demokrasi Terpimpin’. Lalu peradaban kedua adalah Peradaban masyarakat ideal, disini peradaban masyarakat ideal adalah peradaban saling menghargai manusia dalam bentuk perbedaan, negara ditempatkan sebagai idealisme tertinggi, sehingga setiap perbedaan dan terkena menyangkut masalah publik harus diselesaikan dalam hukum-hukum positif.
Sumber: forum.viva.co.id
bisnistiket.co.id